KOMPAS.com
- Bermain merupakan bagian dari proses perkembangan anak yang sangat
berarti. Sayangnya, banyak orangtua Indonesia yang ternyata tidak
mengetahui hal ini. Bahkan, mereka menganggap ikut bermain bersama anak
bukan sesuatu yang pantas dilakukan. Oleh karena itu, orangtua kerap
terlihat membiarkan anak bermain sendiri sehingga anak bermain dengan
alat yang tidak sesuai kapasitasnya. Jika anak terus dibiarkan seperti
ini, ia akan mengalami gangguan pada fisik dan psikis.
Hal inilah yang menjadi salah satu topik pembahasan saat talkshow
"Meningkatkan Aktivitas Bermain untuk Meningkatkan Tahap Perkembangan
Anak", yang diadakan oleh Early Learning Centre (ELC) di Function Hall
Plaza Indonesia, Kamis (11/11/2010).
"Seharusnya, ada interaksi timbal-balik antara caregiver (orangtua, pendidik, atau pengasuh) dan anak. Caregiver
harus peka pada kebutuhan anak, responsif, dan tahu bagaimana membina
interaksi dengan anak, sehingga anak termotivasi untuk melakukan
eksplorasi," tutur Dra Mayke S. Tedjasaputra, MSi, play therapist, saat talkshow berlangsung.
Bentuk
interaksi yang dimaksudnya bisa bermacam-macam. Contohnya, orangtua
bisa memberikan dua pilihan mainan, lalu anak yang memutuskan satu di
antaranya. Kemudian, ketika anak terbiasa memainkan permainan yang sama
terus-menerus, orangtua bisa menarik perhatian anak agar mau
mengeksplorasi mainan baru. Caranya dengan mengajak anak melihat mainan
baru tersebut, lalu mendemonstrasikan cara memainkannya.
"Ketika
anak bermain, beri komentar mengenai apa yang dilakukannya. Lakukan
tatap mata, untuk menandai adanya dukungan pada anak," kata Mayke.
Anak
juga perlu dibebaskan untuk memainkan mainan dengan caranya sendiri.
Hal ini berkaitan dengan tahap perkembangan anak yang berbeda-beda
sesuai usianya. Selama yang dilakukan tidak berbahaya, anak perlu
dibiarkan bereksperimen dalam memainkan permainan tersebut. Anda tidak
perlu mengoreksi bila anak memainkan dengan cara yang tidak biasa. Yang
perlu Anda lakukan hanya memperkenalkan variasi untuk memainkan mainan
yang sama. Terlalu membatasi kebebasan anak hanya akan membuatnya merasa
terganggu.
Mayke juga menekankan pentingnya membatasi digital games
untuk anak. Sudah menjadi hal yang umum bila anak-anak batita atau
balita pun sekarang sudah bisa "bermain" ponsel atau komputer. Karena
anak usia batita belum bisa baca-tulis, mereka hanya akan mengenal icon pada layar ponsel dan komputer tersebut.
"Games
di ponsel atau di komputer merupakan stimulus yang sangat kuat, karena
ada gerak dan suara. Akibatnya, mata akan berfokus pada satu layar saja.
Hal ini akan menimbulkan gangguan tracking mata, yang terjadi saat ia (belajar) membaca," seru pengajar senior di Fakultas Psikologi UI ini.
Mayke
juga mengatakan bahwa anak laki-laki tak perlu dilarang ketika
memainkan boneka atau alat masak-memasak milik adik atau kakaknya.
Sebab, hal ini merupakan bagian dari proses eksplorasinya terhadap
mainan tersebut. Anak laki-laki tak akan mengalami perubahan orientasi
seksual ketika dewasa, hanya karena ketika masih kecil memainkan mainan
anak perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar